Kamis, 07 Maret 2013

Perdarahan Post Partum

PERDARAHAN POST PARTUM

BATASAN
Perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml (pada persalinan pervaginam) atau melebihi 1000 ml (pada persalinan dengan bedah sesar) yang terjadi setelah bayi lahir (Williams Obstetrics menggunakan batasan perdarahan yang terjadi setelah kala III lengkap). Perdarahan post partum dapat mulai terjadi sebelum maupun setelah terlepasnya plasenta. Disebut perdarahan post partum primer jika perdarahan post partum terjadi dalam 24 jam, jika terjadi setelah 24 jam tetapi sebelum 12 minggu post partum disebut perdarahan post partum sekunder.
Untuk kepentingan klinik, setiap kehilangan darah yang berpotensi menyebabkan instabilitas hemodinamik ibu harus dianggap sebagai perdarahan post partum.

PATOFISIOLOGI
Secara normal, setelah bayi lahir uterus akan mengecil secara mendadak dan akan berkontraksi untuk melahirkan plasenta, menghentikan perdarahan yang terjadi pada bekas insersi plasenta dengan menjepit pembuluh darah (disebut “living ligatures of the uterus”) pada tempat tersebut. Apabila mekanisme ini tidak terjadi atau terdapat sesuatu yang menghambat mekanisme ini (adanya sisa plasenta, adanya selaput plasenta yang tertinggal, adanya bekuan darah, dsb.) akan terjadi perdarahan akibat lumen pembuluh darah pada bekas insersi plasenta tidak tertutup atau tertutup tidak optimal. Perdarahan juga dpat terjadi akibat adanya robekan pada jalan lahir, dan gangguan pembekuan darah.

GEJALA KLINIS
Penyebab terjadinya perdarahan post partum, secara mudah adalah 4-T:
a)      Tonus        : atonia uteri, kandung kemih yang over distensi.
b)      Tissue        : retensi plasenta (sisa plasenta) dan bekuan darah.
c)      Trauma      : perlukaan pada vagina, serviks, atau uterus.
d)     Trombin    : gangguan pembekuan darah (bawaan atau didapat).

FAKTOR RISIKO
Faktor risiko untuk terjdinya perdarahan post partum adalah: kehamilan pertama kali, ibu gemuk, bayi besar, kehamilan kembar, persalinan lama atau persalinan dengan augmentasi, dan perdarahan antepartum. Paritas tinggi bukan faktor risiko yang kuat. Yang penting untuk diingat adalah: perdarahan post partum primer bahkan sering terjadi pada wanita risiko rendah, yang sering tidak diperkirakan.

PENGELOLAAN PERDARAHAN POST PARTUM PRIMER
a)      Mintalah bantuan apabila menghadapi kejadian ini (perlu pendekatan multidisipliner). Pasanglah infus dengan jarum besar (jika belum terpasang) untuk menjamin sirkulasi yang adekuat dan untuk memudahkan memasukkan obat-obatan, sebelum sirkulasi menjadi kolaps.
b)      Lakukan pijat uterus (masase uterus) sampai berkontraksi baik. Banyak bukti yang mendukung bahwa “masase uterus” dapat mencegah terjadinya perdarahan post partum akibat atonia uterus.
c)      Identifikasi adanya laserasi jalan lahir dan lakukan perbaikan. Tempatkan jahitan pertama kali setidaknya 1 cm di atas ujung luka. Lakukan pengamatan daerah yang akan dijahit dengan adekuat, jika perlu penjahitan dilakukan di kamar operasi.
d)     Lakukan eksplorasi rongga rahim untuk memastikan tidak adanya laserasi uterus dan menjamin tidak adanya sisa plasenta dan bekuan darah dalam rongga rahim.
e)      Ambilah contoh darah untuk pemeriksaan darah lengkap dan jumlah trombosit, golongan darah, fibrinogen, produk-produk pemecahan fibrin, prothrombin time, dan partial prothrombin time.
f)       Berikan uterotonika:
1)      Oksitosin 20 – 80 UI dalam 1000 cc NaCl / RL secara drip. Pemberian 20 U oksitosin dalam 1000 ml NaCl / RL cukup efektif jika diberikan dengan secara drip dengan dosis 10 ml/ menit (20 mU oksitosin per menit) yang disertai dengan masase uterus yang efektif; dan atau
2)      Misoprostol 800 – 1000 ug (4 – 5 tablet) secara rektal. Misoprostol dapat diberikan sebagai alternatif pada persalinan pervaginam jika oksitosin tidak tersedia.
3)      Methil ergometrin 0,2 mg secara IM (jangan diberikan pada penderita darah tinggi) setiap 2 – 4 jam, dan atau
4)      Carboprost tromethamine (jika tersedia) 0,25 mg IM setiap 15 – 90 menit. Dosis maksimal 2 mg (jangan diberikan pada penderita asthma).
Pemberian misoprostol 800 ug secara rektal biasanya dipergunakan sebagai“obat lini pertama” untuk pengelolaan perdarahan post partum, oleh karena secara bermakna menurunkan risiko kemungkinan tetap adanya perdarahan setelah intervensi. Akan tetapi tidak ada cukup bukti untuk menunjukkan bahwa misoprostol lebih baik dibanding dengan kombinasi oksitosin dan ergometrin saja dalam pengelolaan perdarahan post partum.  Juga tidak cukup bukti untuk menentukan kombinasi obat terbaik, cara pemberian, dan dosis obat dalam pengelolaan perdarahan post partum.
g)      Pasang kateter menetap untuk memantau produksi urine.
h)      Jika dicurigai adanya retensi sisa plasenta, dapat dilakukan kuretase.
i)        Jika diperlukan dapat diberikan transfusi darah dan produk darah.
j)        Tetap monitor penderita, jangan ditinggalkan sendirian.

PENGELOLAAN PERDARAHAN POST PARTUM SEKUNDER
Sampai saat ini tidak ada informasi penelitian secara RCTs (randomised controlled trials) untuk pengelolaan perdarahan post partum sekunder.

PADA KASUS TIDAK RESPONSIF TERHADAP OXYTOCIN
Perdarahan yang masih tetap berlangsung setelah pemberian oksitosin berulangkali, mungkin disebabkan oleh adanya laserasi jalan lahir. Segera lakukan langkah-langkah yang berikut:
1)      Lakukan kompresi bimanual.
2)      Cari bantuan tenaga.
3)      Pasang infus jalur ke dua dengan jarum yang besar, sehingga drip oksitosin tetap dapat diberikan, dan dapat diberikan cairan lain/darah melalui infus yang ke dua. Oleh karenanya setiap pasien obstetri harus diketahui golongan darahnya sebelum persalinan. Pada kondisi sangat darurat, golongan darah “O” dengan golongan “Rhesus Negatif” dapat diberikan.
4)      Lakukan ekplorasi rongga rahim kembali untuk memastikan tidak adanya sisa plasenta, tidak adanya bekuan darah, dan laserasi uterus/robekan uterus.
5)      Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk memastikan tidak adanya robekan serviks dan vagina. Lakukan penjahitan secara benar jika ditemukan laserasi jalan lahir.
6)      Lakukan pemasangan kateter menetap untuk memantau produksi urine.
7)      Pada kasus yang tetap tidak memberikan respon terapi dengan langkah-langkah di atas, pertimbangkan untuk melakukan intervensi pembedahan. Tindakan yang dapat dilakukan: mengikat arteria uterina, mengikat arteria iliaka interna, melakukan kompresi uterus dengan tehnik B-Lynch, penggunaan tampon uterus atau dengan mempergunakan Foley kateter 24F yang kemudian diisi dengan 60 – 80 NaCl (pada penderita yang menginginkan  fertilitasnya dipertahankan). Tindakan tersebut dapat dikombinasikan sebelum memutuskan untuk melakukan histerektomi.

PENYULIT
Penyulit yang dapat terjadi pada perdarahan post partum adalah: syok hipovolemik, DIC, gagal ginjal, gagal hati, ARDS, dan kematian penderita.


DAFTAR PUSTAKA
1.      Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Obstetrical hemmorrhage. In: Williams Obstetric. 23rd Ed. McGrawHill Medical, New York, 2010.
2.      Crawford JT, Tolosa JE. Abnormal third stage of labor. In: Berghella V. Obstetric evidence based guidelines. Series in Maternal Fetal Medicine. Informa healthcare, UK, 2007.
3.      Hofmeyr  GJ, Neilson JP, Alfirevic Z, Crowther CA, Gulmezoglu AM, Hodnett ED, Gyte GML, Duley L. A cochrane pocketbook. Pregnancy and childbirth. John Wiley and Son Ltd. The Cochrane Collaboration. 2008.
4.      Thorp JM, Jr. Clinical aspects of normal and abnormal labor. In: Creasy RK, Resnik R, Iams JD, Lockwood CJ, Moore TR. Creasy and Resnik’s maternal – fetal medicine. Principles and practice. 6th Ed. Saunders elsevier, 2009. p 691 – 717.
5.      Leduc D, senikas V, Lalonde AB. Activemanagement of the third stage of labour: prevention and treatment of postpartum hemorrhage. SOGC Clinical Practice Guideline. JOGC, Oktober 2009. p 980 – 93.


0 komentar:

Posting Komentar